Mungkin banyak dari kalian yang
merasa belajar tentang pelajaran dikelas itu mudah, hingga kalian selalu bisa
dikatakan pintar oleh dosen. Namun, tidak bagiku. Tidak bagi kaum seperti kami,
kaum yang lambat menyerap pelajaran dengan mudah. Kaum yang sebenarnya
membutuhkan perhatian khusus dalam proses pembelajaran, proses yang lebih rumit
dan merepotkan. Sehingga banyak dosen yang lebih baik mengabaikan. Niatnya
hanya mengabaikan proses, tapi secara tidak langsung telah mengabaikan kami tanpa
mereka sadari. Tidak ada yang salah dalam kasus ini, hanya saja kami terutama
diriku sendiri merasa tertekan dengan begitu banyak materi yang disuguhkan.
Sehingga dapat kalian tebak, kami pun mengabaikan materi-materi tersebut.
Jarang mengumpulkan tugas, lari dari jadwal kuliah, dan yang paling parah
adalah terasa diasingkan dari teman-teman dikampus. Lebih seperti hidup
sendiri, tanpa ada uluran tangan yang membantu (benar-benar membantu dalam
proses pembelajaran). Dampak yang sangat terasa itu adalah jarang dan bahkan
tidak pernah mendapat kelompok dalam mengerjakan tugas. Alhasil segalanya nol
besar, IPK anjlok dan semakin jauh dari jalur utama.
Awalnya, aku pikir diriku ini
bodoh dan nakal. Lebih suka bersenang-senang, tanpa memikirkan pelajaran di kampus.
Itu jauh sebelum menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Tulisan ini
bukan bualan atau karangan semata, tetapi ini adalah apa yang pernah aku alami
disini. Ya, di perguruan tinggi ini. Dan aku hanya berharap untuk kalian yang
membaca dan mungkin dari kalian yang memiliki hal seperti ini sama denganku,
jangan pernah berkecil hati karena kalian jauh lebih pintar dari mereka. Kalian
cerdas, hanya lambat dalam menjalani prosesnya.
Tahun awal perkuliahan, bisa
dibilang aku konsisten dalam menjalankan proses perkuliahan. Rajin masuk kelas
dan rajin mengerjakan tugas. IPK ku pun terbilang cukup baik, karena diawali
dengan angka tiga. Namun, seiring berjalan waktu dan materi perkuliahan semakin
banyak dan jadwal semakin padat. Sesuatu dalam diriku merasa terdesak, merasa
seperti tersudut oleh keadaan. Aku menjadi tidak fokus dalam perkuliahan, dan
dalam kasus ini tidak ada yang perlu disalahkan. Hanya saja menyayangkan
beberapa pihak yang tidak bertindak dengan semestinya. Nilai IPK ku semakin
menurun seiring semakin padatnya jadwal kuliah dan tugas yang menumpuk.
Pikiranku kacau, berantakan, dan bingung harus bagaimana aku menata ulang
semuanya. Tanpa panduan, dukungan, dan tanpa sesuatu yang dapat menolong
kekacauan ini. Karena secara kasat mata, aku terlihat baik-baik saja. Segalanya
serasa everything’s ok, tapi tidak dengan keadaan psikologisku yang semakin
jatuh dibawah batas normal. Karena mungkin banyak dari kami yang memang menjadi
orang yang lebih tertutup, menyimpan semua untuk diri sendiri tanpa harus
merepotkan orang lain. Hingga hancur pun kami tak pernah ingin menyeret orang
lain ikut kedalamnya.
Tahun kedua perkuliahan, aku
pikir ini babak baru untuk mulai menyusun lagi dari awal. Belajar dari
pengalaman tahun sebelumnya, begitu banyak hal yanng tertinggal. Membuang jauh
hal yang kurang penting, hal yang dapat mengganggu proses perkuliahan. Dan
untuk diawal, aku memulai dengan cukup baik. Mencoba untuk selalu mengikuti
prosesnya. Tugas demi tugas aku ikuti, berusaha untuk tetap fokus pada satu
titik. Namun apa yang terjadi, beberapa bulan kemudian ketika semuanya mulai
memanas aku pun mulai kehilangan fokus dalam belajar. Penyebabnya entah dari
apa, banyak hal yang membuat semuanya menjadi berantakan kembali. Endingnya sama seperti tahun sebelumnya,
bahkan semakin parah.
Tahun ketiga perkuliahan,
evaluasi demi evaluasi aku lakukan untuk membuat diriku menjadi lebih baik. Dan
aku mulai menyadari bahwa aku orang yang cepat sekali merasa bosan. Bosan pada
hanya satu hal. Kebosanan itu yang membuat aku tidak pernah fokus. Bosan karena
apa? Karena tidak pernah tertarik dengan apa yang sedang aku pelajari. Mungkin
itu penyebab utamanya. Di tahun inilah aku mulai mendapatkan bahwa aku ini
begitu spesial, begitu istimewa, begitu luar biasa. Mengapa bisa? Karena di
tahun ketiga inilah akhirnya aku mengerti mengapa aku ini terlihat lebih bodoh
dari mereka, lebih lambat dari mereka, dan lebih sedikit teman di kampus.
Penyebabnya adalah aku ini seorang underachieved. Apa itu underachieved? Kalian
bisa cari sendiri jawabannya di mbah google.
Awal aku menyadari bahwa aku ini
seorang underachieved adalah ketika aku mengikuti mata kuliah diagnostik
parametrik. Mata kuliah ini adalahmempelajari tentang bagaimana mendiagnostik
kemampuan dari seorang anak. Kemampuan dalam belajar, mengenal bentuk,
berhitung, dsb. Karena tujuannya agar kami dapat mendiagnostik seorang anak,
tentunya dosen pun mendiagnostik kami terlebih dahulu. Tujuannya
sebagai contoh cara mendiagnostik klien dan melihat kemampuan diri dari masing-masing
mahasiswa. Kami disuguhkan dengan berbagai macam tes, terlihat seperti tes IQ
namun sedikit berbeda media dan penghitungan hasil tes nya. Nama tes ini adalah
tes SPM, yang berminat silakan mencoba dan yang belum tahu silakan tanya mbah
google. Dari begitu banyak soal yang diberikan dengan waktu yang telah
ditentukan, aku menjadi sedikit lebih cepat mengerjakannya dibandingkan dengan
mahasiswa lainnya. Entah asal atau memang itu terlihat mudah untukku ya
entahlah. Sampailah pada proses penghitungan tes, dimana semua hasil tes itu
langsung di kroscek ditempat. Dan hasil dari tes itu langsung bisa diketahui.
Nilai tes ku adalah lima puluh sembilan, karena ada satu soal yang tidak aku
isi. Padahal aku bisa mengisinya dengan asal tapi aku lebih memilih tidak
mengisinya. Hasil akhir tes sekelas sudah diketahui, nilai sempurna tes itu
adalah enam puluh poin. Dan hasil tesku satu poin dibawahnya, jujur saja aku
terkejut tapi aku masih belum mengerti maksud dari poin tersebut. Semakin
terkejut ketika aku tahu bahwa poinku yang tertinggi dikelas, tak satupun dari
mereka mahasiswa pintar itu dapat menyaingi skor SPM ku. Dosen pengampu mata
kuliah pun terkejut, karena historis kemahasiswaanku di mata para dosen cukup
mengenaskan. Menjadi gosip didalam ruang jurusan. Tapi terlepas dari itu, dosen
pun menjelaskan maksud dari poin tersebut. Poin tersebut adalah tingkat
kecerdasan akumulatif dari pola pikir otak kita. Seperti logika, penalaran,
dsb, yang digabung menjadi satu. Dan dari hal itulah, akhirnya dosen menyimpulkan
bahwa aku seorang underachieved. Bahwa aku membutuhkan perhatian khusus dalam
proses pembelajaran. Perhatian yang seharusnya berkesinambungan, yang harusnya
selalu dipantau perkembangannya. Tapi sayangnya, kegiatan dosen bukan hanya
mengurusi satu hal. Masih banyak yang harus mereka urus. Jadi dalam kasus ini
pun aku tidak bisa menyalahkan mereka. Setidaknya aku lebih mengerti tentang
diriku, dan berusaha menjalani semuanya sebisa aku menjalaninya. Karena sesulit
apapun itu, segalanya akan menjadi lebih indah jika kita mau untuk menjalaninya
dengan ikhlas.
Mungkin hanya sampai disini
sharing tentang underachieved, jika ingin mendalami tentang hal ini bisa
langsung hubungi pada pakar ahlinya. Sekian dan terima kasih.
Salam
hangat,
Schrizofren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar