September 28, 2013

UNDERACHIEVED

Mungkin banyak dari kalian yang merasa belajar tentang pelajaran dikelas itu mudah, hingga kalian selalu bisa dikatakan pintar oleh dosen. Namun, tidak bagiku. Tidak bagi kaum seperti kami, kaum yang lambat menyerap pelajaran dengan mudah. Kaum yang sebenarnya membutuhkan perhatian khusus dalam proses pembelajaran, proses yang lebih rumit dan merepotkan. Sehingga banyak dosen yang lebih baik mengabaikan. Niatnya hanya mengabaikan proses, tapi secara tidak langsung telah mengabaikan kami tanpa mereka sadari. Tidak ada yang salah dalam kasus ini, hanya saja kami terutama diriku sendiri merasa tertekan dengan begitu banyak materi yang disuguhkan. Sehingga dapat kalian tebak, kami pun mengabaikan materi-materi tersebut. Jarang mengumpulkan tugas, lari dari jadwal kuliah, dan yang paling parah adalah terasa diasingkan dari teman-teman dikampus. Lebih seperti hidup sendiri, tanpa ada uluran tangan yang membantu (benar-benar membantu dalam proses pembelajaran). Dampak yang sangat terasa itu adalah jarang dan bahkan tidak pernah mendapat kelompok dalam mengerjakan tugas. Alhasil segalanya nol besar, IPK anjlok dan semakin jauh dari jalur utama.
Awalnya, aku pikir diriku ini bodoh dan nakal. Lebih suka bersenang-senang, tanpa memikirkan pelajaran di kampus. Itu jauh sebelum menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Tulisan ini bukan bualan atau karangan semata, tetapi ini adalah apa yang pernah aku alami disini. Ya, di perguruan tinggi ini. Dan aku hanya berharap untuk kalian yang membaca dan mungkin dari kalian yang memiliki hal seperti ini sama denganku, jangan pernah berkecil hati karena kalian jauh lebih pintar dari mereka. Kalian cerdas, hanya lambat dalam menjalani prosesnya.
Tahun awal perkuliahan, bisa dibilang aku konsisten dalam menjalankan proses perkuliahan. Rajin masuk kelas dan rajin mengerjakan tugas. IPK ku pun terbilang cukup baik, karena diawali dengan angka tiga. Namun, seiring berjalan waktu dan materi perkuliahan semakin banyak dan jadwal semakin padat. Sesuatu dalam diriku merasa terdesak, merasa seperti tersudut oleh keadaan. Aku menjadi tidak fokus dalam perkuliahan, dan dalam kasus ini tidak ada yang perlu disalahkan. Hanya saja menyayangkan beberapa pihak yang tidak bertindak dengan semestinya. Nilai IPK ku semakin menurun seiring semakin padatnya jadwal kuliah dan tugas yang menumpuk. Pikiranku kacau, berantakan, dan bingung harus bagaimana aku menata ulang semuanya. Tanpa panduan, dukungan, dan tanpa sesuatu yang dapat menolong kekacauan ini. Karena secara kasat mata, aku terlihat baik-baik saja. Segalanya serasa everything’s ok, tapi tidak dengan keadaan psikologisku yang semakin jatuh dibawah batas normal. Karena mungkin banyak dari kami yang memang menjadi orang yang lebih tertutup, menyimpan semua untuk diri sendiri tanpa harus merepotkan orang lain. Hingga hancur pun kami tak pernah ingin menyeret orang lain ikut kedalamnya.
Tahun kedua perkuliahan, aku pikir ini babak baru untuk mulai menyusun lagi dari awal. Belajar dari pengalaman tahun sebelumnya, begitu banyak hal yanng tertinggal. Membuang jauh hal yang kurang penting, hal yang dapat mengganggu proses perkuliahan. Dan untuk diawal, aku memulai dengan cukup baik. Mencoba untuk selalu mengikuti prosesnya. Tugas demi tugas aku ikuti, berusaha untuk tetap fokus pada satu titik. Namun apa yang terjadi, beberapa bulan kemudian ketika semuanya mulai memanas aku pun mulai kehilangan fokus dalam belajar. Penyebabnya entah dari apa, banyak hal yang membuat semuanya menjadi berantakan kembali.  Endingnya sama seperti tahun sebelumnya, bahkan semakin parah.
Tahun ketiga perkuliahan, evaluasi demi evaluasi aku lakukan untuk membuat diriku menjadi lebih baik. Dan aku mulai menyadari bahwa aku orang yang cepat sekali merasa bosan. Bosan pada hanya satu hal. Kebosanan itu yang membuat aku tidak pernah fokus. Bosan karena apa? Karena tidak pernah tertarik dengan apa yang sedang aku pelajari. Mungkin itu penyebab utamanya. Di tahun inilah aku mulai mendapatkan bahwa aku ini begitu spesial, begitu istimewa, begitu luar biasa. Mengapa bisa? Karena di tahun ketiga inilah akhirnya aku mengerti mengapa aku ini terlihat lebih bodoh dari mereka, lebih lambat dari mereka, dan lebih sedikit teman di kampus. Penyebabnya adalah aku ini seorang underachieved. Apa itu underachieved? Kalian bisa cari sendiri jawabannya di mbah google.
Awal aku menyadari bahwa aku ini seorang underachieved adalah ketika aku mengikuti mata kuliah diagnostik parametrik. Mata kuliah ini adalahmempelajari tentang bagaimana mendiagnostik kemampuan dari seorang anak. Kemampuan dalam belajar, mengenal bentuk, berhitung, dsb. Karena tujuannya agar kami dapat mendiagnostik seorang anak, tentunya dosen  pun  mendiagnostik kami terlebih dahulu. Tujuannya sebagai contoh cara mendiagnostik klien dan melihat kemampuan diri dari masing-masing mahasiswa. Kami disuguhkan dengan berbagai macam tes, terlihat seperti tes IQ namun sedikit berbeda media dan penghitungan hasil tes nya. Nama tes ini adalah tes SPM, yang berminat silakan mencoba dan yang belum tahu silakan tanya mbah google. Dari begitu banyak soal yang diberikan dengan waktu yang telah ditentukan, aku menjadi sedikit lebih cepat mengerjakannya dibandingkan dengan mahasiswa lainnya. Entah asal atau memang itu terlihat mudah untukku ya entahlah. Sampailah pada proses penghitungan tes, dimana semua hasil tes itu langsung di kroscek ditempat. Dan hasil dari tes itu langsung bisa diketahui. Nilai tes ku adalah lima puluh sembilan, karena ada satu soal yang tidak aku isi. Padahal aku bisa mengisinya dengan asal tapi aku lebih memilih tidak mengisinya. Hasil akhir tes sekelas sudah diketahui, nilai sempurna tes itu adalah enam puluh poin. Dan hasil tesku satu poin dibawahnya, jujur saja aku terkejut tapi aku masih belum mengerti maksud dari poin tersebut. Semakin terkejut ketika aku tahu bahwa poinku yang tertinggi dikelas, tak satupun dari mereka mahasiswa pintar itu dapat menyaingi skor SPM ku. Dosen pengampu mata kuliah pun terkejut, karena historis kemahasiswaanku di mata para dosen cukup mengenaskan. Menjadi gosip didalam ruang jurusan. Tapi terlepas dari itu, dosen pun menjelaskan maksud dari poin tersebut. Poin tersebut adalah tingkat kecerdasan akumulatif dari pola pikir otak kita. Seperti logika, penalaran, dsb, yang digabung menjadi satu. Dan dari hal itulah, akhirnya dosen menyimpulkan bahwa aku seorang underachieved. Bahwa aku membutuhkan perhatian khusus dalam proses pembelajaran. Perhatian yang seharusnya berkesinambungan, yang harusnya selalu dipantau perkembangannya. Tapi sayangnya, kegiatan dosen bukan hanya mengurusi satu hal. Masih banyak yang harus mereka urus. Jadi dalam kasus ini pun aku tidak bisa menyalahkan mereka. Setidaknya aku lebih mengerti tentang diriku, dan berusaha menjalani semuanya sebisa aku menjalaninya. Karena sesulit apapun itu, segalanya akan menjadi lebih indah jika kita mau untuk menjalaninya dengan ikhlas.

Mungkin hanya sampai disini sharing tentang underachieved, jika ingin mendalami tentang hal ini bisa langsung hubungi pada pakar ahlinya. Sekian dan terima kasih.


Salam hangat,



Schrizofren.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar