Kali ini saya akan bercerita tentang pengalaman saya sebagai
relawan di Jalin Merapi. Mungkin banyak orang yang tidak mengerti apa itu Jalin
Merapi. Jalin Merapi merupakan suatu organisasi yang bergerak di bidang bencana,
sosial, dan kemanusiaan. Tujuan dari organisasi ini adalah memantau aktivitas
gunung merapi, dan berbagai kegiatan lainnya.
Disinilah awal kisah saya dimulai, kala itu banyak berita
yang beredar tentang aktivitas gunung Merapi yang mulai meningkat dari hari ke
hari. Dikoran, radio, dan televisi pun menayangkan dengan siaran langsung
bagaimana aktivitas gunung ini telah menjadi berita utama diseluruh nusantara.
Gak pernah sih ada niat buat jadi seorang relawan. Tapi pada malam itu, tanggal
27 Oktober 2010 lalu, ketika berita meletusnya gunung Merapi santer terdengar
saya pun penasaran dengan keadaan didaerah kaliurang, Jogjakarta. Saya ketika
itu sedang makan malam bersama pacar saya disekitar kaliurang km7. Jalur menjadi
padat seketika, mobil ambulan sibuk naik turun di daerah kaliurang. Karena rasa
penasaranku, setelah makan saya mengajak Anin (pacar saya) untuk jalan-jalan
tuh ke kaliurang. Anin setuju dan kita berdua meluncur menuju km20. Disana
seperti pasar, banyak kerumunan orang dan banyak mobil ambulan. Jalan telah di
blokir. Tak ada satupun kendaraan yang boleh melintasi daerah km20 keatas jika
memang tidak ada keperluan yang mendesak. Agak kecewa sih, soalnya kita gak
dapet berita apa-apa disana. Pulang dengan tangan kosong dan penasaran yang
makin menjadi. Anin pun membuka akun twitter nya untuk mencari berita seputar
gunung Merapi. Otak atik sana sini, cek sana cek sini, ketemu deh tu akun Jalin
Merapi. Di akun itu semua berita tentang perkembangan gunung Merapi sangat up
to date. Dan pada saat itu kita ketahui gunung Merapi belum meletus. Tapi tadi
sepanjang perjalanan kami turun dari kaliurang, abu vulkanik sudah mulai
bertebaran. 28 Oktober 2010 dini hari, berita Merapi pun langsung mencuat,
hastag prayformerapi menjadi trending topik saat itu di twitter. Merapi
mengeluarkan letusan pertamanya saat itu juga. Berita tentang korban dari
letusan Merapi semakin banyak, Merapi marah, meluluh lantahkan sebagian daerah
dekat kawah Merapi. Banyak berita dan semakin bertambahnya korban membuat saya
dan Anin mencari jalan untuk menjad seorang volunteer. Dan Allah mendengar doa
kami, langsung dari akun Jalin Merapi meminta kepada kawan-kawan yang berminat
menjadi relawan bisa langsung datang ke camp team SAR di dekat daerah Tugu.
Seperti yang tertera di info, kami pun tiba tepat waktu jam8 pagi. Kami semua calon relawan Merapi dikumpulkan
dan akan dibagi kawasan wilayah. Kebetulan saya dan Anin mendapat daerah
Mungkid, Magelang. Setelah briefing, kami langsung menuju lokasi yang menjadi
pos pertama kami. Hari itu, Jumat 29 Oktober 2010, kami sampai jam setengah12.
Dan langsung dilanjut menunaikan sholat Jumat bersama relawan-relawan yang
lain. Hari pertama kami belum berarti apa-apa. Belum ada pekerjaan yang pasti,
hanya menunggu perintah dari atasan. Ketika hari menjelang senja, kami telah
mendapat pos sendiri. Nama pos kami Jalin Merapi 2, dengan Mr. Deka sebagai
koordinator nya dan Alan sebagai wakil koordinatornya. Relawan di JM2 cukup
banyak sekitar 12 orang kalau tidak salah. Pos kami berada di daerah Srumbung,
12km dari gunung Merapi. Dari pos kami sekitar 4km keatas kita dapat langsung
melihat gunung Merapi dengan sangat jelas. Dan hari pun berlalu, pasca pertama
Merapi meletus sudah banyak bantuan dari dermawan yang kami terima. Mulai
logistik, sampai pakaian bekas layak pakai. Jeda beberapa hari kemudian Merapi
mulai meletus dengan hebat. Warga panik menyelamatkan diri masing-masing, dan
kami relawan harus berada di garis depan karena itu sudah menjadi tugas utama
kami. Membantu warga untuk evakuasi dari lokasi bencana. Saya lupa saat itu
hari apa, yang jelas keadaan semakin memburuk. Semua warga diungsikan. Dan
jarak aman meningkat dari 12km menjadi 20km, dikarenakan letusan Merapi jauh
lebih besar dari sebelumnya. Mungkin jika kalian berada disana kalian tak akan
mampu bayangkan bagaimana kepanikan seluruh warga disana. Crowded banget. Kami
pun para relawan harus mundur hingga desa Salam. Batas aman 20km dari gunung
Merapi. Keadaan saat itu gelap gulita, padahal hari masih siang. Langit
diselimuti debu dan abu vulkanik dari Merapi. Dan hujan pasir pun mewarnai
setiap jalan di daerah kabupaten Magelang. Jalan-jalan tertumpuk abu vulkanik
hingga setebal 15cm. Kendaraan susah berjalan karena jarak pandang saat itu
sangat terbatas. Kami pun mengungsi ke SMA Salam, tapi sayangnya kami tidak
mendapat pos disana, akhirnya mas Budi (tetua di Jalin Merapi) mencari solusi
lain. Kami mencari tempat yang cocok untuk pos kami. Dan selama seharian itu
kami terlunta-lunta. Merapi tak henti-hentinya mengeluarkan isi perutnya. Hampir
setiap waktu dentuman dari arah Merapi yang kami dengar. Selama menjadi
relawan, hp kami tak hentinya berbunyi. Banyak sanak keluarga yang
mengkhawatirkan keadaan kami, banyak juga yang memberi pesan meminta bantuan
logistik. Tenaga kami dikuras habis, dan kami tak memiliki waktu untuk
beristirahat. Akhirnya setelah terlunta-lunta, kami mendapat pos baru didaerah
Ketep. Dengan kendaraan seadanya kami menuju pos baru itu. Disana jaraknya
sekitar 15km. Kami pun agak terkejut karena menurut berita jarak aman berada
pada 20km dari Merapi. Cukup was-was dan takut tapi kami tidak gentar. Ini
adalah tugas mulia yang allah percayakan pada kami. Banyak relawan yang kembali
ke jogja untuk melihat keadaan kost nya. Alhasil pada saat itu, yang menuju pos
baru hanya deka, alan, saya, dan anin. Mana kondisi kendaraan kami rusak parah,
motor deka dan alan rem belakangnya rusak. Nah saya, dari awal menjadi relawan
hanya membawa vespa butut. Tapi syukurnya si vespa gak ngambek, lancar jaya.
Sampailah kami di pos baru kami, dan pos baru ini ternyata
rumah dari kepala desa disana, kami pun dijamu dengan berbagai makanan ala
kadarnya. Dasarnya uda laper berat, kami hantam hingga tak bersisa. Sekitar jam
sembilan malam kami tiba di pos JM2 yg baru itu. Kami pun merebahkan diri untuk
istirahat sejenak. Dari pos baru kami ini lebih terdengar jelas dentuman Merapi
yang tidak berhenti-henti. Karena rasa lelah kami pun tak menghiraukan. Satu
kejaian ini yang membekas diingatan saya. Ketika itu, kami sedang tertidur
lelap ditemani gempa tremor kecil yg berkelanjutan. Sekitar jam sebelas lewat
empat puluh lima menit, gempa tremornya meningkat drastis. Seluruh kaca
bergetar, dan lantai yang kami pijak bergoyang dahsyat. Saya dan Anin pun
terbangun dan sontak teriak gempa. Deka yang pada saat itu tidur berbagi sarung
dengan Alan bangun dengan panik, danterjatuh dari dipan karena sarung yang
mereka pakai susah dilepas. (secara satu sarung dipakai untuk berdua).
Sesaat kemudian, suara ledakan besar membuat seluruh warga
panik, mereka berhamburan menyelamatkan diri. Dan kami tidak boleh panik, kami
tetap pada tugas kami. Apapun yang bisa kami bantu pasti kami bantu. Saat itu
hanya membagikan masker yang bisa kami lakukan. Didalam rumah ada ibu kades
beserta nenek dan anaknya. Kami bingung bagaimana mengevakuasi mereka. Karena
terlalu sepuhnya (tua) si nenek jadi agak sulit untuk berjalan. Kami pun
mencari ambulan disekitar lokasi kami, dan alhamdulillahnya masih ada ambulan
yang stay disekitar lokasi kami. Si nenek pun langsung kami evakuasikan ke
bawah. Masalah belum selesai sampai disini, ibu kades dan anaknya juga ga bisa
kami tinggal. Kami pun berbagi kendaraan. Alan membawa ibu kades dan anaknya.
Dan saya membawa Anin dan Deka. Karena terpaksa, si vespa pun harus kerja rodi
ngangkut kami sampai bawah. Sudah merasa nyaman dapet tempat istirahat,
sekarang sudah harus ngungsi lagi. Hahahaha .... Nasib nasib. Sesampainya
dibawah, kami terlunta-lunta kembali, hilang arah. Handy talkie dan hp sudah
mati. Karena listrik disana dimatikan. Kami pun menunggu dipiinggiran jalan.
Tidur di emperan jalan hingga pagi. Untungnya ketika pagi, tim bantuan datang
menjemput. Kami diungsikan ke daerah mungkid. Seorang kawan dari mas Budi.
Disanalah pemberhentian kami yang terakhir. Pos JM2 Mungkid. Dan semakin hari semakin
banyak relawan yang mendaftar lagi. Kami bisa sedikit lebih tenang
beristirahat, karena pos kami berada didaerah aman bencana. Hari hari
berikutnya, kegiatan kami adalah menyalurkan bantuan ke pos pengungsian.Merapi
pun mulai mereda, letusannya tidak sedahsyat sebelumnya. Tapi ada kekhawatiran
lain disini, yaitu lahar dingin. Lahar ini sama berbahayanya dengan letusan
Merapi. Karena lahar ini membawa jutaan kubik pasir dari letusan Merapi.
Bangunan-bangunan rumah hancur, infrastruktur jalan juga hancur diterjang lahar
dingin. Jembatan banyak yang roboh tak kuasa menahan laju lahar dingin.
Semuanya itu saya lihat dengan mata kepala saya sendiri. Betapa dahsyatnya
kekuatan alam. Jika Allah sudah berkehendak tak ada satupun makhluk yang dapat
menghindari kehendaknya. Pemandangan kerusakan massal tiap hari kami lihat di
Magelang. Ketika keadaan mulai mereda, kami kembali ke Srumbung, pos JM2
pertama kami. Untuk mengambil sisa-sisa barang yang bisa kami selamatkan. Awal
kami datang ke desa ini, semua berwarna hijau, asri dan alami. Tapi kini yang
kami lihat, semua tanaman mati, hanya warna abu-abu yang kami lihat.
Bangunan-bangunan banyak yang rata dengan tanah. Mas Pandu adalah pemilik rumah
dimana Pos JM2 pertama kali berdiri. Saat dia melihat kampung halamannya, diatas
mobil box dia membacakan sebuah puisi yang berisikan tentang kesedihannya,
luapan hatinya melihat kehancuran desanya. Tak kuasa air mata pun menetes dari
matanya. Rumahnya hancur, atapnya tak kuasa menahan bobot dari pasir yang
begitu banyak. Tak banyak yang bisa kami selamatkan dari sana. Hingga awal
Desember kami mendedikasikan diri sepenuhnya menjadi relawan Jalin Merapi.
“Tulisan ini saya buat untuk mengenang kejadian letusan
Merapi 2010, dan tulisan ini saya dedikasikan untuk semua kawan-kawan Jalin
Merapi yang rela meluangkan waktu dan mempertaruhkan nyawa demi membantu
sesama.”
_____________________________”GOD BLESS YOU GUYS”
____________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar